Ellena

Sunyi sudah seperti oksigen yang selalu ia hirup, gelap sudah berteman akrab dengan sang netra cokelat, sedang telinga sudah bersahabat dengan senyap. 

Baginya, sepi adalah kediaman.
Baginya, kelam adalah jalanan.

Tidak ada terang dalam pandangnya, tidak ada bising dalam indra pendengarnya, dan tidak ada tawa dari bibirnya. Ellena merasa asing dengan ramai, senda gurau atau suara saling sapa. Bagi ia yang hanya punya diri sendiri sebagai teman, manusia lain tak ada gunanya. Ellena membenci mereka. Bukan tanpa alasan, sedari kecil kedua orang tuanya bukanlah orang dewasa penuh kasih dan cinta, saudara-saudaranya bukan orang yang senang berbagi canda tawa padanya, para paman dan bibi hanya status belaka.

Diusia ke enam belas dia memutuskan tenggelam dalam dunia buatannya sendiri, dunia di mana Ellena bisa merasakan tenang tanpa mata tajam yang menghujam, tanpa omongan pedas tentang seberapa bodohnya dirinya, tanpa senyum miring yang selalu dipamerkan keluarganya. Ah, apa bahkan manusia seperti mereka pantas disebut keluarga? Bukan, apa pantas di sebut manusia?

Sampai ketika usianya genap dua puluh, dia bertemu Gazza, pemuda dua puluh dua tahun dengan rambut dan mata hitam kelam. 

Kalimat pertama dari pertemuan mereka hanyalah sebuah pertanyaan singkat. "Sendiri?"

Ellena bergeming, tidak memberi respon apapun dan tetap duduk diam tanpa melihat siapa pemilik suara yang tadi bertanya.

"Aku juga sendiri," ujarnya lagi seakan Ellena mendengarkan, padahal dia masih larut dalam hening.

"Gazza. Gazza Dwatama, kerenkan namaku?" 

Ellena masih bergeming, tapi Gazza tak menyerah.

"Kalo nama kamu, siapa?" Gazza masih memandang ke arahnya, menunggu-nunggu mulut kecil itu mengeluarkan bunyi. "Eii, gak mungkin gak punya nama, kan? Atau mau aku kasih nama? Eum ... Lili?"

Ellena merasa kesendiriannya terusik, beranjak dari duduknya, lantas dia berjalan meninggalkan Gazza. Tentu saja langsung diikuti oleh pemuda itu, entah apa tujuannya.

"Jadi, Lili, kita berteman?"

"...."

"Kamu gak suka nama Lili? Gimana kalo Rose, Jasmine, atau nama bunga lain?"

"Ellena."

"Ah! Ternyata kamu gak bisu," ujarnya lalu tertawa, dia senang mendengar suara itu. Meski hanya suara datar tanpa emosi apapun di dalamnya.

"Jadi, Ellena. Sekarang kita berteman?" Ulangnya pada pertanyaan yang tadi tak sempat terjawab.

"Kenapa kamu mengikutiku?" 

"Karena aku penasaran denganmu."

"Kamu mengenalku?"

"Entah? Pertama melihatmu aku langsung tertarik dengan mata itu, mata yang seakan-akan membuat orang yang melihatnya terhisap dalam kehampaan. Tapi karena kita tidak saling kenal, aku mengabaikanmu saja dan memilih tidak peduli."

"Lalu, kenapa kamu di sini?"

"Karena kejadian itu sudah tiga bulan yang lalu! Dan sejak saat itu setiap hari aku selalu melihatmu di tempat, waktu, dan posisi yang sama. Jika saja matamu tak berkedip, aku pasti sudah berpikir kau batu pahatan yang luar biasa sempurna."

"Tak usah pedulikan aku."

"Mana bisa? Hey, kamu dengar, kan. Aku melihatmu setiap hari, se-ti-yap ha-ri. Benar-benar tanpa absen satu kali pun, mustahil mengabaikan keberadaanmu."

"Lakukan saja seperti mereka."

"Mereka itu tak punya mata, jangan samakan aku dengan yang seperti itu. Karena kamu selalu sendiri, bagaimana kalau kita bersama saja mula sekarang? Kamu bekerja di toko itu, kan? Aku selalu melihatmu keluar dari toko itu saat senja, lalu duduk di bangku taman sampai malam datang. Bisa-bisanya manusia melamun selama itu tanpa jeda, huuuh."

"Terserah."

Setelahnya di pertemuan selanjutnya, Ellena tidak memedulikan Gazza, hanya menjawab tanyanya dengan deheman, anggukan, atau gelengan saja. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Pemuda itu tidak berhenti, terus berada di sisinya sambil bercerita banyak hal, dia juga bekerja di tempat Ellena bekerja. 

Gazza menemaninya duduk di bangku taman, jalan pulang dan selalu berulang tiap hari. Tanpa disadari Ellena terbiasa dengan sosok Gazza yang seperti itu, kesendirian tidak mengiringinya lagi. 

Ellena yang sudah mulai nyaman, akhirnya mau membuka suara meski sedikit demi sedikit. Rasa percaya pada manusia mulai tumbuh kembali, wajahnya mulai bersinar dengan berbagai ekspresi yang dulu tak dimilikinya. 

Empat tahun berlalu, Ellena benar-benar sudah bergantung dengan manusia lain bernama Gazza Dwatama. Malamnya yang kosong mulai dihuni bintang. Senjanya yang sunyi mulai dilalui cuitan burung. Paginya yang kelam mulai terang.

Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir bisa merasakan perasaan hangat yang menyenangkan seperti ini. Siapa sangka hanya dengan hadirnya seseorang dapat membawa bahagia pada hidupnya. Luka yang diberikan keluarganya masih ada, tapi sudah tak menganga, pemuda itu mengobatinya. Sakitnya belum sirna, masih tersisa, tapi tak mengapa selama itu tak bertambah dan menyiksa.

Sekarang Ellena ingin berpisah dari sepi yang sudah memeluknya selama ini, meninggalkan gelap yang dulu menjadi tempat persembunyiannya, menuju cahaya bernama bahagia. Kata terimakasih tak pernah luput dari bibirnya. Masa lalu bukan lagi hal yang mengerikan, karena dia sudah punya tangan untuk digenggam, sudah punya pundak untuk disandari, dan punya telinga untuk bercerita. Dia berharap mulai saat ini, tak ada lagi sendiri.  Dan hanya bahagia yang menanti.

Komentar

  1. Sudut pandnag ceritanya sungguh bagus ... buat lagi ya

    BalasHapus
  2. Wah..
    Semangat, Ellena..
    Jangan terlalu larut dalam luka itu..
    Ayo bangkit lagi, ada Gazza yang siap menemanimu..

    BalasHapus
  3. Keren, awal baca tak kira ini puisi. Eh ternyata cerpen.

    BalasHapus
  4. Bagus haha diriku ngakak pas Gazza blg "ternyata kamu gak bisu" wkwk

    BalasHapus
  5. Daebak, awalnya kukira puisi ternyata . .. Wah keren, aku bisa merasakan kesendirian yang dirasakan Ellena.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer