Luka yang mengering



Luka yang Mengering

“Kemanapun, asalkan denganmu pasti aku ikuti.”





Lidahnya kelu, kedua bola mata membulat hampir sempurna, juga napas yang tertahan. Teresa membeku di tengah terik matahari, seakan-akan sekarang dia sedang berada di dimensi yang berbeda. Otaknya sedang mengolah informasi yang baru saja di dengar oleh sang telinga, sedangkan hatinya sedang sibuk mencari salah dalam perbendaharaan kata si pembawa berita. Tidak, tidak ia temukan keliru di sana. Semua benar adanya.

Pesawat yang baru lepas landas kurang dari dua puluh lima menit itu jatuh bebas, meledak dengan keras, lalu kemudian memeluk samudra: terhempas. Para regu penyelamat bergegas melacak lokasi pasti, mengambil perlengkapan lalu dengan cepat saling mencari para korban untuk diobati. Semua keluarga cemas, berharap agar sanak saudara mereka ditemukan dalam keadaan masih bernapas. Helikopter di kerahkan untuk mencari dari atas, para perahu berlomba dengan ombak ganas. Mereka tak bisa kehilangan sedikitpun waktu, ada nyawa yang sedang berada di antara hidup dan mati di bawah sana. Ini bukan tugas yang bisa dikerjakan nanti-nanti, karena siapapun bisa segera mati.

Mengambil tas dengan tergesa, memasang sepatu tanpa benar-benar memperhatikan apakah talinya sudah melekat sempurna, Teresa bergegas menuju tempat terjadinya peristiwa. Dengan jantung berdegup kencang dan napas memburu, dia tak peduli lagi dengan seberapa pucat wajahnya sekarang. Ada kehidupan yang dikhawatirkan, ada nyawa yang dia pedulikan, ada orang yang tak boleh pergi meninggalkan. Dery, tunangannya. Mereka akan menikah dua minggu mendatang. Harusnya.

Tidak, mereka memang akan menikah dua pekan lagi, 'kan? Ini pasti hanya kejutan yang dibuat Dery, 'kan? Tapi, kejutan macam apa yang melibatkan satu negara dan banyak nyawa? Teresa tahu ini nyata, dia tidak bodoh, hanya saja ia tak mampu menerima, ia tak ingin. 

Dia bergabung dengan para keluarga korban yang berkumpul, menunggu kabar dari para petugas. Ada yang pingsan, panik, bahkan mengamuk tak terima. Ada juga yang terdiam di sudut sana dengan wajah keras, tahu bahwa berharap sekarang hanya sia-sia saja. 

Salah satu petugas tiba-tiba mendatangi Teresa, mengeluarkan sebuah kertas foto polaroid dari sakunya, lalu bertanya dengan hati-hati. "Apa benar ini foto Anda?"

Teresa terdiam, kemudian mengangguk. "I-iya, it-itu foto ... saya." Itu foto yang ditangkap oleh Dery tahun lalu saat mereka berlibur ke Raja Ampat. Teresa merasa yang datang adalah kabar buruk. 

"Salah satu korban yang ditemukan memeluk foto ini." Tidak, Teresa tidak Ingin mendengar lebih lagi. "Kami masih mengidentifikasi mayatnya, bisa ikut kami sebentar untuk memastikan apakah dia orang yang Anda kenal?" 

Pasti bukan. Iya, 'kan?

Teresa berjalan dengan gemetaran, dadanya sesak. Kaus cokelat, jeans, jaket kulit warna hitam. Memangnya hanya Dery yang punya pakaian seperti itu? Pasti salah.

Begitu petugas membuka kain yang menutupi wajah laki-laki itu, Terese jatuh terduduk, aliran air mata tak bisa dibendung lagi, isaknya terdengar seperti bisik. Bagaimana mungkin. Ini mustahil. Tolong, siapapun, bilang padanya ini hanya mimpi. 

Ibunya meninggal ketika usianya baru empat tahun,  Ayahnya menyusul tujuh tahun kemudian. Hidup bersama dengan neneknya selama enam tahun, lalu ditinggalkan lagi. Di usianya yang ke tujuh belas dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Teman ayahnya meminta untuk jadi walinya sampai ia menikah, namun tiga tahun kemudian dia juga dijemput Tuhan. Dia benar-benar sendirian seutuhnya sebelum bertemu Dery saat ulangtahunnya yang ke dua puluh dua, berpacaran tiga tahun dan memutuskan menikah. Namun, lagi-lagi dia ditinggalkan?

Apa yang salah? Kenapa semua orang yang bersama dengannya selalu direnggut dengan paksa? Bukankah ini tak adil? Kepalanya diserang pening bukan main. Dia pingsan karena terlalu syok. Ketika hati tak mampu lagi, lalu badan merespon dengan membuat diri tak sadarkan.   Ini sebuah contoh luka yang tak akan pernah mengering, yang tak akan sembuh dengan obat dari negara manapun.

Tersengal-sengal, Teresa mendengar suara orang lalu-lalang dengan tergesa, membicarakan hal-hal yang terdengar samar, matanya berat tak mampu membuka, lidahnya tak kuasa mengeluarkan kata-kata. 

"Tekanan jantungnya mel—"

"Cepat ambi—"

"—rtinya tak akan sem—"

"—tahil, kesadarannya hila—"

"Dokter! Dokter!"

"Panggil keluargany—"

Suara-suara itu menyusup ke dalam telinga, Teresa tak terlalu mengerti keadaannya sekarang, dia hanya merasa sangat ringan.

Entah kenapa, matanya tak berat lagi. Membukanya, dia melihat tempat kosong berlatar putih, lalu muncul seseorang dari balik pintu. Ah, itu Dery. Air mata jatuh lagi, Dery mendekat padanya lalu memberikan pelukan.

"Sshh, sekarang kamu bisa tenang, aku ada di sini, Sayang."

"Dery ... bukannya kamu sudah mati?"

Dery tersenyum, tanpa berkata apa-apa dia melepas pelukan mereka, mundur selangkah lalu menekuk kaki kanannya dan membiarkan lutut kaki kirinya menyentuh lantai. Mengangkat satu tangan: menadah di depan Teresa, meminta tangannya.

"Kamu mau ikut aku?"

"Tentu saja." Jawabannya keluar lebih cepat daripada laju kereta. 

"Kalau begitu, ayo, kita pergi sama-sama."

Teresa tersenyum bahagia, berdiri dan ikut melangkah dengan riang bersama Dery. Seakan kesedihan tadi tak pernah ia rasa. Dia tak peduli ini di mana, selama ia tak sendiri, tak mengapa, dibawa kemanapun dia rela. Lukanya sudah tersembuhkan, dukanya sudah disapu bersih, deritanya lenyap dibawa senyap.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer