Keangkaraan Mayapada

 Sebentuk kisah singkat

Keangkaraan Mayapada

Pada seorang gadis kecil



][][][][][][][



Satu, dua, tiga, empat, lima ....

Entah sudah berapa kali hitungan itu berulang dalam gumamnya, disertai helaan napas yang terdengar begitu melelahkan. Gadis kecil itu masih saja menutup matanya dengan kedua telapak tangan sambil menghadap pada tembok di depannya. Dia masih ingin menuangkan harapnya, ia masih ingin menggenggam rasa percaya pada kalimat terakhir yang diucapkan wanita yang dipanggilnya 'Ibu' itu. 

"Tunggu sebentar, ya. Ibu akan menjemputmu kalau urusan Ibu sudah selesai."

Dia anak manis yang penurut, tidak pilih-pilih makan atau pakaian, pintar berhitung dan tidak punya temperamental buruk, secara keseluruhan dirinya tidak punya alasan untuk bisa dibuang begitu saja. Sebagai tambahan, parasnya cantik. Lalu, sebenarnya dari mana ini semua mulai salah? 

Apakah karena sang ibu telah bertemu laki-laki yang hanya mau menikahinya dengan syarat membuang putrinya sendiri? Atau apakah karena masalah ekonomi? Dia tidak apa jika tidak diberi kasih sayang, asal bisa bersama sang ibu saja dia sudah bersyukur. Namun, sepertinya harapan itu terlampau jauh untuk dapat ia gapai. Pada akhirnya, dia dibuang begitu saja.

Usianya belum genap sembilan tahun, anak-anak yang sebaya dengannya masih bisa bersekolah dan berlarian sambil tertawa. Sedangkan dia hanya bisa merana sambil bertanya, sisa berapa lama lagi waktunya? Berapa lama lagi dia harus terus mempertahankan napasnya yang mulai sesak? Berapa lama lagi yang ia butuhkan agar semua air matanya menjadi berlian kebahagiaan? Ataukah, itu terlalu abu-abu baginya yang hitam pilu?

Katanya seorang anak akan tumbuh membawa kasih sayang yang didapatnya sejak kecil, tapi bagaimana jika dia bahkan tak mengenal kosa kata pendek itu? Terlalu banyak tanya mengapung berkelana di kepala mungilnya. Tidak membiarkan jeda pada pikirannya walau sejenak saja.

Dia sudah menduganya, tapi tak ingin percaya. Ibunya benar-benar lenyap tanpa sepucuk surat perantara, entah mau satu minggu atau satu bulan, bahkan mungkin satu tahun, wanita itu tak mungkin kembali lagi. Terlebih, untuk seseorang sepertinya.

Dua puluh hari terakhir dia habiskan dengan mengelana dari satu toko ke toko lain, berharap belas kasih dari para pedagang itu. Namun, semesta malah menunjukkan kejamnya manusia. Jangankan memberi, membuka mata untuk menoleh padanya saja enggan, sebab dia kotor, bau, dan mengganggu pemandangan. Dia dewasa tanpa harus menunggu tua. Dia mengerti tanpa perlu diajari. Dunia yang keras ini sudah lama memeluk tubuh kecilnya.

Meringkuk di emperan toko saat cahaya bulan menyoroti bumi dengan sempurna, mulai menjadi rutinitas barunya. Hari itu, tepat di minggu ketiga pengembaraannya di jalanan, dia bertemu sepasang suami istri baik hati. Mereka tidak menunjukkan tatapan risih ataupun ekspresi muak saat netra mereka menangkap keberadaannya.

Dari jarak beberapa meter dari tempat gadis itu, sang istri terlihat berbisik pada suaminya, lalu dibalas dengan anggukan dan mereka berjalan beriringan mendatanginya.

Sambil tersenyum lembut sang istri berkata, "Nak, boleh saya duduk di sampingmu?"

Terkejut, gadis itu menoleh ke kanan dan kirinya, hanya ada mereka bertiga sekarang, apa benar nyonya di depan ini berbicara dengannya? Setelah yakin bahwa lawan bicara wanita dewasa itu adalah dirinya, gadis itu mengangguk: mengijinkan. 

"Apa kamu kedinginan?"

Dia membalas dengan anggukan kepala. Si istri lalu mengambil jaket dari tasnya, menaruhnya ke atas pundak rapuh itu.

"Apa sekarang kamu juga lapar?"

Lagi. Dia hanya memberi anggukan sebagai respon.

"Bagaimana jika kita ke depan sana untuk makan bersama?" Kali ini tak ada respon, dia bertanya lagi, "kamu ingin makan di sini saja? Kalau begitu kami akan belikan dan kamu makan, bagaimana?"

Gadis itu menatap bingung, apa dia akan diculik? Pikirnya.

Setelah beberapa saat berpikir dalam keheningan, gadis itu berdiri. "Saya ikut ke depan sana," ujarnya yang membuat kedua orang dewasa di depannya kaget. 

"Sungguh? Kamu tidak takut dengan kami?"

"Tidak. Meskipun kalian penculik yang akan membunuhku sekalipun, aku tidak peduli. Setidaknya aku bisa makan dalam kehangatan di hari terakhirku."

Mendengar perkataan seperti itu keluar dari bocah sembilan tahun, sang istri langsung berlutut di depan gadis itu, memeluknya, tidak peduli baju bagusnya akan kotor dan bau setelahnya. Anak ini sudah terlalu akrab dengan keangkaraan mayapada. Sesuatu yang tidak seharusnya.

"Tidak akan, itu tidak akan terjadi. Kamu bisa makan makanan yang layak dan pakaian yang hangat setiap hari mulai saat ini."

Gadis kecil itu terlalu enggan memberikan rasa percayanya pada orang lain, dia hanya ingin memasukkan beberapa sendok nasi ke mulutnya meskipun akhirnya dia akan mati.

Tapi orang yang menemuinya itu benar-benar bukan penjahat, mereka tidak memberi permen dan mengajak bermain. Mungkin, mungkin saja suatu hari nanti dia bisa membuka hatinya lagi lewat kasih sayang yang akan dia dapatkan dari keluarga barunya. Mungkin saja.




][][][][][][][

Komentar

Postingan Populer