Tuan Daun dan Nona Bunga

Tuan Daun dan Nona Bunga

sumber: pinterest


Tuan Daun telah lelah berpegang pada Tuan Tangkai yang rapuh, memilih membiarkan dirinya terbawa embusan pawana ke hilir dan ke hulu. Kemudian jatuh pada permukaan air sungai, mengalir mengikuti arus laju tanpa tuju. 

"Gysa, Tuan Tangkai sedih dan marah tidak ya, saat ditinggal Tuan Daun pergi?" Tanya seorang remaja laki-laki pada gadis disampingnya.

"Sedih, tapi Tuan Tangkai tidak marah," sahutnya sambil mengangkat selembar kertas bertuliskan paragraf singkat yang sedang mereka bahas.

"Kenapa tidak marah?"

"Karena Tuan Tangkai mengerti perasaan Tuan Daun."

"Perasaan yang bagaimana?" Tanyanya lagi dengan kepala sedikit dimiringkan ke kanan.

"Tuan Tangkai tahu, Tuan Daun sudah dewasa dan tidak bisa terus bergantung padanya saja. Tuan Tangkai membiarkan Tuan Daun pergi seperti halnya orang tua yang melepaskan anaknya ketika mereka beranjak dewasa," jelasnya sambil menghadap pada laki-laki disampingnya, kemudian tersenyum dan melanjutkan, "Roen, kamu tidak penasaran dengan Nona Bunga?"

Kali ini Roen yang menjawab, "Gysa, di paragraf itu tidak ada tertulis tentang Nona Bunga."

"Loh, memangnya kalau tidak tertulis, jadi tidak bisa kita bahas?"

"Bukan begitu, tapi tadi aku tidak terpikirkan untuk bertanya hal itu."

Gysa berdiri dari duduknya, mengulurkan tangan pada Roen untuk mengajak bangun juga. Gadis itu menarik teman yang sudah bersama dengannya sejak ia baru lahir   itu dengan semangat menuju tepi sungai. Sesampainya di sana, dia menempatkan badan dengan cara melipat kedua lutut, bertumpu pada telapak kaki: berjongkok. Roen melakukan hal yang sama disebelahnya.

"Lihat," ujar Gysa sambil menunjuk dedaunan dan bunga yang mengambang di atas air, terbawa arus ringan.

"Eum .... Gysa, lalu apa?" Tanya Roen sedikit bingung.

"Ish, Roen. Kamu lihat di sana, kan? Ada daun juga kelopak bunga, mereka sama-sama jatuh terbawa angin dan kemudian hanyut tanpa kawan."

"Ah, maksudmu nasib mereka sama?"

"Iya, mirip. Seperti aku dan kamu."

"Eh, maksudnya bagaimana?"

"Tuan Daun itu seperti kamu, Nona Bunga itu seperti aku, aliran arus ini seperti kehidupan kita."

"Kalau begitu, Tuan Tangkai adalah orang tua kita," sambung Roen.

"Benar. Suatu saat nanti kita akan dewasa, lalu mereka yang bernama orang tua harus rela melepaskan kita pada kehidupan yang baru meskipun sedih, karena begitu lah hidup ini."

"Kamu memaknainya sejauh itu, ya."

"Hanya sedang terlintas saja di kepalaku."

Komentar

  1. Penyampaian pelepasan pada anak kerenlah pakai cerpen. Aku juga sering memikirkan posisi ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebagai anak kadang memang terpikir akan hal ini, haha.
      Terimakasih banyak kak ^^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer