Pakai wajah apa hari ini?

sumber tertera di watermark foto


Pakai wajah apa hari ini?



Coba kita hitung, ada berapa ekspresi yang kumiliki, berapa yang sudah dipakai, dan berapa yang masih tersisa untuk bisa digunakan hari ini. Aku sudah tersenyum di pagi hari, tertawa saat matahari di atas kepala, sedikit marah menjelang sore, kalem di penghujung hari. Ah, sepertinya kali ini pun sama, yang tersisa hanya topeng sedih, menangis, kecewa, dan sangat marah. Lagi-lagi aku harus memasang ekspresi yang sama di malam hari, saat tiada satu pun orang yang dapat melihatku. 

Tidak apa, ini sudah biasa. Topeng dengan berbagai macam roman ini banyak berjasa dalam hidupku. Contohnya saja kemarin, saat hati seperti tertusuk sembilu, ekspresi bernama 'tawa' menghiasi wajah merahku, menutupi badai yang tadinya menyerbu mataku, menyapu hantaman ombak yang tadi lalu di hidungku. Membaur bersama tawa orang-orang sekeliling yang saling memakai topeng, saling melindungi diri dengan manipulasi. Menutupi gundah hati dengan riuh suara sana-sini.

Siang berganti malam, lalu malam berganti siang lagi. Matahari menggelinding, menghilangkan cahaya penerang manusia, kemudian bulan datang sebagai pengganti sementara. Senyum luruh diganti sendu. Tawa lenyap diganti senyap. Siklus yang terus berulang selama bertahun-tahun hidupku. 

Agak pilu memang, tapi mau bagaimana lagi, dunia tidak menunggu lukaku di hari ini pulih sebelum mengganti hari. Luka yang belum mengering terbuka lagi keesokkannya, bukannya berkurang, semakin hari hanya semakin melebar dan berakhir tak bisa diobati lagi. Sebagian cukup bodoh sampai menyerah dengan hidup, sebagian lainnya masih bisa menggunakan otak sebagai pelindung diri. 

Kalau bukan aku, siapa lagi yang memberi peduli. 
Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa mengerti.

Ucapan lucu seperti "aku peduli pada kamu" atau "aku mengerti apa yang kamu rasakan" itu kadang terlontar dari bibir orang-orang ketika melihat suatu kepedihan dalam diri seseorang. Hanya sebatas ucapan tanpa makna, tanpa rasa dan jauh dari hati. Itu tak berguna, aku muak mendengarnya.

Apanya yang mengerti? Kamu hanya sok memahami.
Apanya yang peduli? Kamu hanya tak ingin dianggap tak tahu diri.

Aku tahu, cukup. Buang semua kebohongan itu, atau sumbangan saja ke orang yang lebih membutuhkan itu dibandingkan aku. Sudah terlalu banyak kantong-kantong berisi sampah di kamarku, tak perlu kau tambah-tambah. 

Ah, apa aku terlalu memukul rata semua mahkluk di muka bumi ini? Tidak, bukan itu maksudku. Penghuni semesta ini ada banyak sekali, lebih dari tujuh miliar mahkluk bernama manusia. Tentu saja tidak semuanya berhati jahat. Dan hanya sedikit yang punya hati seputih malaikat.

Diantara semua kantong sampah itu ada satu-dua surat berisi pelukan hangat dan senyuman penyemangat. Terimakasih kepada sang pengirim yang sudah rela membuang waktunya untuk menghiburku, mencurahkan kepedulian lewat tatapan tulusnya, menghambur obat dalam senyum tanpa penat. Terimakasih, temanku. Teman yang memang teman, tidak ada kata 'palsu' yang tersemat di belakang nama itu. 

Setidaknya, dengan kehadiran kalian aku tahu bahwa masih ada yang tahu aku ada. Masih ada yang mau aku terus bernapas. Masih ada yang sudi melihat rupaku. Masih ada alasan bagiku untuk terus menetap di tanah ini. Menetap di rumah sesak penuh air mata ini. 

Aku tahu kalian lelah, tetapi memilih untuk tetap tidak berhenti berjuang demi aku di saat kalian bisa pergi kapan saja. Sungguh, kehadiran kalian benar-benar seperti udara di tengah badai pasir mengerikan di hidupku. 

Jembatan itu bisa kulewati karena tuntunan tangan kalian. Ayo, sekali lagi, mencoba bertahan di kehidupan yang fana ini.




|×|÷|×|÷|÷|×|



Catatan kaki : aku tidak sedang galau saat menulis ini, tapi ide yang terlintas selalu saja yang galau-galau, kenapa ya? :( 
Oiya, satu lagi, ini fiksi.

Ah, Terimakasih sudah singgah. ^^

Komentar

Postingan Populer