Ingar bingar ibu kota

Ingar Bingar Ibu Kota

Nadiatus Sufla





Sumber: pinterest



Dentuman musik merambat merasuki pendengaran, lampu kerlap-kerlip mewarnai penglihatan, suara ramai orang bercakap-cakap terdengar di sepanjang jalan, diiringi dengan bunyi derap langkah kaki mereka. Aku pikir aku akan terbiasa. Namun, tidak. Tidak akan pernah.

Aku tidak pernah menyukai keramaian, apalagi berdiri di tengahnya. Satu-satunya tujuanku pergi ke kota adalah untuk menemuimu, tidak ada hal lain. Lalu, bagaimana caranya aku bisa nyaman tinggal di sini jika tanpamu? 

Aku datang karena ingin tertawa dan senang bersamamu, bukan malah mengantarkan jasadmu ke pemakaman dengan derai tangisan. Itu bukan agenda yang kuinginkan. Sekarang bagaimana aku melangkah sendirian?

Kuharap ini tidak nyata, seperti di film-film yang sering kita tonton bersama, bahwa sebenarnya yang aku hadiri bukan pemakamanmu, bahwa yang dimasukkan ke dalam tanah itu bukan tubuh milikmu, bahwa semua ini hanya kesalahpahaman belaka. 

Namun, tidak. Aku melihatnya dengan sangat jelas, itu adalah wajah yang biasanya tersenyum dengan ceria di depanku, itu tubuh milik laki-laki yang pernah berkata akan hidup selamanya bersamaku. Orang yang sama dengan yang telah pergi meninggalkanku. 

Harusnya kamu jangan berjanji hal yang tidak pasti seperti itu, sekarang kamu pergi, janji hanya sebatas kata yang kini tak ada guna. Aku sendiri, bingung, tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. 

Jika saja aku tahu ini akan terjadi, lebih baik aku tak datang kemari, jadi kamu tidak perlu menaiki mobil itu untuk menjemputku ke bandara, jadi kamu tidak perlu merasakan sakit karena terluka, jadi kamu tidak pergi.

Kota seluas ini dengan penuh ingar bingar tidak bisa melenyapkan sepiku, tawa para pasangan yang lewat hanya lebih menyakitiku, karena harusnya kita juga seperti itu, pergi berdua menikmati malam yang indah sambil memakan martabak manis kesukaanmu.

Di mataku, para pejalan kaki itu hanya ilusi yang hilang-timbul, para pengemudi itu hanya bayangan yang melintas. Pada dasarnya, aku benar-benar merasa kalau aku sendiri, tanpa siapa pun di sampingku. Kota ini terlalu sepi untuk kudiami sendiri.

Kembali ke desa juga bukan inginku, aku tak punya siapa-siapa di sana, 'pun di sini. Sekarang aku hanya mau melamun di sudut kota, menatap pada kekosongan, berharap kamu datang dan mengajakku pergi bersama. Seakan mengerti, hujan datang untuk memelukku dalam dinginnya malam. Aku akan menunggu waktuku tiba, entah sampai kapan. Semoga kamu tenang, dan semoga aku cepat menyusulmu pulang. 



- “Sebuah monolog hati tentang kerinduan” -

Komentar

Postingan Populer